welcome in my blog

semoga dengan adanya blog ini menambah kita menjadi semakin banyak wawasan. amiiiiiiiiiiiiiiiin.

Wednesday, July 4, 2012

Mengembangkan Imajinasi Naratif dalam Pendidikan Alternatif


Senin, 13 Oktober 2008

Mengembangkan Imajinasi Naratif dalam Pendidikan Alternatif

Pendidikan merupakan proses yang dilakukan oleh masyarakat di belahan dunia mana pun. Tujuan dalam proses pendidikan tersebut [dalam Islam] sering disebut dengan fitrah. Fitrah manusia adalah menjadi merdeka dan menjadi bebas. Kesemuanya itu disebut dengan tujuan humanisasi (ke-ummat-an).

Sepanjang sejarahnya, pendidikan bukanlah proses yang didalamnya terdapat pemaksaan atau doktrin, tetapi gerakan melawan kecenderungan tersebut. Pengetahuan pun bukan barang jadi yang tinggal diterima, tapi sebuah hasil penjelajahan yang memerlukan kreativitas serta kebebasan pemaknaan. Itulah kiranya idealitas pendidikan.

Namun pada kenyataanya, pendidikan yang diharapkan mampu menjadikan diri serta orang lain terentaskan dari penindasan dan kesengsaraan justru menjadi aktor yang menindas manusia. Selama ini, kita melihat penindasan justru lahir dari dunia pendidikan yang kita banggakan dengan sebuah lembaga yang bernama sekolah. Dari semua hal tersebut ada sebuah perenungan yang bisa kita jadikan evaluasi bersama, benarkah sekolah adalah satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas pendidikan bagi masyarakat? Benarkah orang yang tidak bersekolah identik dengan predikat tak berpendidikan? Bagaimana pendidikan seharusnya dimaknai? merupakan beberapa hal yang perlu mendapatkan jawaban dan pensikapan yang lebih bijak.
Menimbang Pendidikan Alternatif

Pendidikan sejak awal perkembangannya dianggap bagian penting dari perjuangan melawan penguasa “kolonial”. Pikiran itu berkembang setelah timbul dan adanya kesadaran bahwa kolonialisme mungkin bertahan bukan hanya karena keserakahan dan kejahatan penguasa, tapi juga karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan rakyat pribumi untuk melawan, seperti halnya di Indonesia, selama kurang lebih tiga setengah abad lamanya.

Pendidikan yang berpijak pada budaya “pribumi” di Indonesia mulai bersemi di tengah dominannya model pendidikan kolonial yang diskriminatif sejak awal abad ke-19. Model robotik pendidikan dengan metode hafalan dan tekanan sikap penurut melahirkan gagasan bagi beberapa orang untuk mencoba memahami arti dan makna pendidikan secara lebih luas. Di antara yang sedikit tokoh pelopornya dan dijadikan “pendidikan alternatif” pada zamannya adalah Rabindranath Tagore di India dengan Santiniketan-nya, Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswa-nya, Ivan Illich dengan Deschooling Society-nya serta Paulo Freire dengan Conscientization (penyadaran)-nya.

Rabindranath Tagore atau sering disebut dengan Gurudev lahir di Kalkuta, India pada 7 Mei 1961 dan meninggal pada 7 Agustus 1941 di kota yang sama. Ia lebih dikenal sebagai sastrawan besar India dan merupakan orang Asia pertama yang mendapat anugerah Nobel dalam bidang sastra pada tahun 1913. Namun, di awal abad ke-20, selain menghasilkan karya-karya sastra, ia juga mendirikan sekolah yang khas dengan metode yang mencerahkan dan memberikan kemandirian pada murid-muridnya yang dikenal dengan nama Santiniketan; yang dalam bahasa Arab bermakna darrussalam (tempat tinggal yang damai).

Pemahaman mendalam yang terdapat dalam karyanya, Agama Manusia (Tagore, 2003:189) tentang kesadaran esensi illahiyah yang diyakininya telah mengental dalam kesadaran manusiawi, yang secara tidak sadar bergerak dalam pikirann dan telah memaksanya keluar dari mendalami sastra dan mengambil bagian dalam dunia kegiatan praktis (pendidikan). Kebutuhan untuk memperoleh realisasi diri spiritual dalam kehidupan manusia dengan melakukan layanan yang tidak mementingkan diri. Pada waku itulah didirikan sebuah lembaga pendidikan bagi anak-anak yang merupakan “kuil hidup” yang telah ia rintis.


Santiniketan merupakan sebuah lembaga pendidikan yang khas dengan budaya lokal dan sesuai kebutuhan masyarakat umum, berbeda dengan sekolah-sekolah yang didirikan oleh penjajah Inggris pada masa itu. Di Santiniketan, proses pembelajarannya dilakukan secara sederhana. Belajar dilakukan dengan duduk di atas rumput yang dinaungi pohon rindang. Tetapi pelajarannya sangat bermakna dan membekas pada diri murid-murid. Di sana diajarkan hal-hal atau keahlian yang sesuai dengan keperluan dan kondisi penduduk lokal setempat, dikembangkan berdasar kearifan lokal (local genius), bersahabat dengan alam, ketrampilan praktis, dan lain-lain, sehingga mereka yang lulus dari sekolah tersebut benar-benar bisa memanfaatkan ilmunya pada kehidupan sehari-hari. Dan inilah kiranya yang dalam istilah sekarang disebut dengan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning).

Tokoh kedua sebagai figur dan sekaligus sebagai tokoh pendidikan bagi rakyat Indonesia adalah Ki Hajar Dewantoro. Ki Hajar Dewantoro lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat di Yogyakarya pada 2 Mei 1889, merupakan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi dengan semboyan yang berbunyi “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Sampai saat ini semboyan tersebut masih dipakai dalam semboyan pendidikan di negeri ini. Hari kelahirannya kemudian diperingati dengan hari pendidikan Nasional. Gagasan tentang pendidikan yang memerdekakan lahir atas pengamatannya terhadap sistem pengajaran kolonial. Menurutnya, pendidikan dan pengajaran kolonial menjauhkan rakyat pribumi dari realitas sehari-hari dan itu berarti menghapus kesadaran akan kemerdekaan dari penjajahan kolonial.

Kritik atas sistem pendidikan kolonial ini diberi bentuk konkret dengan membangun perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Ketertarikan banyak orang di masa itu untuk menyekolahkan anaknya di Taman Siswa didorong oleh sistem pengajaran yang menekankan pada kemerdekaan anak didik. Berbeda dengan sistem pendidikan Barat yang juga dianut oleh pemerintah kolonial, Taman Siswa mendidik murid-muridnya supaya berperasaan, berpikiran, dan bekerja merdeka di dalam batas-batas tujuan untuk mencapai hidup tertib bersama. Sebaliknya, pada saat itu, karakter pengajaran kolonial menekankan pada perintah, hukuman, dan ketertiban (regering, tucht, orde).

Taman Siswa menjalankan asas kerakyatan yang membuat pendidikan dan pengajaran berguna bagi lapisan besar masyarakat pribumi. Penyakit hndividualisme yang memisahkan satu orang dengan orang lain digantikan dengan nilai-nilai kekeluargaan (nasionalisme). Nilai-nilai kekeluargaan atau kolektif ini dikemukakan Ki Hajar Dewantara bukan untuk menghilangkan kemerdekaan personal. Sebaliknya, di dalam hidup merdeka seseorang harus ingat bahwa ia hidup bersama orang lain yang juga berhak menuntut kemerdekaan diri. Oleh karena itu, pengajaran nilai kolektif dimaksudkan untuk memberi kesadaran tentang kehidupan bersama dalam bingkai persatuan masyarakat.

Tiap-tiap Orang djadi Guru, tiap-tiap Rumah djadi Perguruan! Demikian bunyi semboyan Ki Hadjar Dewantara. Semboyan ini, menganjurkan suatu gerakan mobilisasi untuk belajar bagi seluruh rakyat pada masa itu. Mobilisasi intelektual yang dimaksud di sini adalah mengerahkan seluruh sumber daya manusia yang ada untuk memberi pengajaran kepada anak-anak pribumi. Anjuran ini merupakan cita-cita pendiri perguruan Taman Siswa untuk memajukan pendidikan rakyat.

Ivan Illich melalui Deschooling Society, yang dialihbahasakan dengan judul Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah (Ivan Illich: 2000) mengungkapkan bahwa anggapan mengenai sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan adalah bias dari kehidupan kapitalis yang telah merasuk dalam kesadaran masyarakat. Menurut Illich, sekolah adalah fenomena modern yang lahir seiring dengan perkembangan masyarakat industri kapitalis. Konspirasi terselubung antara pendidikan dan kapitalisme menurutnya juga tak lepas dari dukungan pemerintah (kekuasaan), sehingga daya hegemonik yang diciptakannya menjadi massif.

Struktur masyarakat industri menurut arkeolog gagasan [Illich] yang lahir di Wina, Austria tahun 1926 ini telah menyeret kesadaran masyarakat kepada dependensi institusional dalam banyak hal. Masyarakat selalu dan hanya mengaitkan pendidikan dengan sekolah, pelayanan kesehatan dengan rumah sakit, dan seterusnya. Ketergantungan masyarakat terhadap institusi sekolah untuk memperoleh pendidikan menurutnya merupakan suatu bentuk kelembagaan nilai yang mau tidak mau pada akhirnya menimbulkan polusi fisik, polarisasi sosial, dan ketidakberdayaan psikologis. Definisi dan label-label sosial diciptakan dalam kerangka hubungan dengan lembaga sekolah. Baginya sekolah tradisional lebih jauh mengebiri kecerdasan dan menjerat kemanusiaan serta hakikat diri dalam perangkap mekanik, sehingga tak ada pilihan lain kecuali membangun masyarakat tanpa sekolah. Sekolah (formal), dalam pandangan Illich, tak ubahnya pabrik yang mencetak anak didik dalam paket-paket yang sudah pasti. Anak-anak bersekolah untuk disodori apa yang mesti dipelajari dan apa yang tidak boleh dipelajari. Mereka diiming-imingi bahwa dengan semua itu, impian-impian hidup akan tergapai. Imajinasi mereka “disekolahkan” untuk menerima jasa pencangkokan nilai-nilai.

Gagasan radikal yang digulirkan oleh Ivan Illich mendapat wujudnya dalam model pendidikan yang dikembangkan Paulo Freire. Titik tolak gagasan Freire adalah kenyataan sosial di Brasil tempat kelahirannya, dimana penindasan bercokol dengan mudah karena ketidaktahuan dan proses pembodohan oleh penguasa (Paulo Freire, Politik Pendidikan: 2001). Bagi Freire, pendidikan tak dapat dipisahkan dari penyadaran (conscientization), yang akhirnya bermuara pada pembebasan. Ia mengkritik metode pemberantasan buta huruf pemerintah Brazil yang hanya memperkenalkan abjad kepada para peserta dan akhirnya mempersiapkan orang untuk menjadi pelayan kepentingan penguasa. Baginya, pengenalan abjad terkait dengan pembebasan. Karena itu program pemberantasan buta huruf yang ia ciptakan sekaligus bermaksud membangkitkan kesadaran rakyat. Ia mendobrak sistem pendidikan Brasil yang berhenti pada pengetahuan, dengan menyerukan bahwa pendidikan adalah proses belajar untuk bergerak dan bertindak.

Arkeolog gagasan kelahiran Brazil pada 19 September 1921 dan meninggal pada 2 Mei 1997 ini mengungkapkan bahwa proses penyadaran (consientization) dan pembudayaan (culturation) berjalan terus-menerus demi mewujudkan sebuah peradaban dan tatanan kehidupan kemanusiaan yang lebih adil. Pendidikan akan menjadi diskursus tandingan (counter discourse) terhadap diskursus yang menghegemoni dan menindas, agar arus perubahan selalu terjaga dan terjadi dalam segala aspek kehidupan manusia.

Pendidikan yang dibutuhkan oleh lapisan masyarakat menurutnya adalah pendidikan yang membebaskan manusia untuk selalu sadar akan dirinya dan tidak teralienasi dari masyarakat dan dunianya. Sebuah proses pendidikan yang tidak tercerabut dari realitas sosial, bukan pendidikan yang malah menjauhkan manusia atau peserta didik dari kenyataan hidup yang ada. Paradigma pendidikan yang mengarahkan manusia untuk senantiasa menyadari bahwa dirinya sedang mengalami transformasi terus-menerus (learning to be) dan untuk selalu “menjadi sesuatu” (becoming to), sangat signifikan keberadaannya.

Dari beberapa latar belakang dan kondisi sosial yang melingkupi para tokoh pendidikan di atas, dapat diambil beberapa kesamaan tipologi dalam merekonstruksi konsep pendidikan yang ditawarkan dan dijadikan sebagai alternatif. Setidaknya ada lima kesamaan tipologi mendasar: pertama, pendidikan yang dilakukan merupakan pendidikan untuk meng-counter kaum dominan baik oleh kolonial maupun penguasa pada masanya. Kedua, pendidikan yang dilaksanakan bertujuan untuk memahami realitas sosial. Ketiga, adanya pembebasan dan penghargaan yang luas kepada peserta didik dalam mengaktualisasikan diri dan kemampuannya. Keempat, berbagai model pendidikan, entah yang kemudian menamakan ‘pendidikan alternatif, ‘sekolah bebas’, atau bahkan de-sekolah-isasi, tersebar sebagai sentra pendidikan yang dibangun atas dasar kesederhanaan dan keterbatasan kemampuan, terutama dari segi finansial bisa dibaca sebagai pesan yang mengatakan bahwa transformasi pengetahuan dan sosialisasi tidak hanya menjadi monopoli sekolah dengan segala atributnya. Belajar bisa dilakukan dimana saja, kapan saja dan diselenggarakan oleh siapa saja. Kelima, formalisme kelembagaan pendidikan bagi para arkeolog gagasan menjadi relatif dalam pemaknaan, namun tetap menuju pada pemerdekaan dalam memperoleh pengetahuan dan pengalaman sosial.

Diakui atau tidak, kita semua hidup dalam dunia yang seluruh atau sebagian besar logikanya mengacu pada satu hal, yakni motif keuntungan ekonomi. Akibatnya, seluruh proses hidup, termasuk pendidikan, diarahkan pada motif tersebut. Dalam penghayatan dan kesadaran tentang dirinya dan dengan diri sendiri pun, manusia terjerembab pada orientasi pasar. Dalam konteks ini manusia mengalami dan menghayati dirinya sebagai benda yang dipekerjakan di pasar.
Nilai gunanya sebagai manusia ditentukan oleh sejauhmana kebutuhan pasar terhadapnya. Manusia belum atau bahkan tidak menghayati dirinya sebagai agen aktif yang mengemban kekuatan manusiawi. Makna hidup diekspresikan dengan menjual dirinya secara berhasil di pasar. Pemahamannya akan diri sendiri tidak keluar dari aktivitas sebagai makhluk yang mencinta dan berpikir, tetapi semata-mata dari peran sosio-ekonominya. Eksistensi dalam kehidupan ini dihayati sebagai upaya untuk menginvestasikannya secara baik agar dapat mendatangkan keuntungan ekonomis bagi dirinya.

Berdasar realitas dan perputaran roda peradaban di atas, meniscayakan kita untuk selalu menemukan formulasi yang tepat dalam menjawab dan menyikapi tantangan peradaban yang mengemuka di hadapan kita. Dan pendidikan adalah salah satu, bahkan satu-satunya aktor yang harus berperan aktif dalam upaya formulasi ini, karena peradaban manusia akan selalu dipengaruhi oleh mainstream yang berkembang di dalamnya. Untuk itulah, pendidikan yang tidak hanya memprioritaskan satu aspek hidup, sangat diperlukan. Dengan kata lain, pendidikan harus lebih memperhatikan pendidikan dimensi-dimensi lain dalam diri manusia.

Pendidikan dimensi-dimensi lain di dalam diri manusia tersebut antara lain kemampuan yang terkait dengan rasa kemanusiaan dan seni, yang notabene sangatlah penting bagi penciptaan kehidupan bersama yang harmonis. Kedua hal tersebut akan bermuara pada kemampuan praktis untuk berpikir kritis, kemampuan untuk mentransendensi kesetiaan sebagai warga lokal, serta kemampuan untuk melihat masalah tidak sebagai anggota dari satu kelompok kecil saja, tetapi sebagai bagian “dari seluruh dunia”. Dan, mungkin ini adalah yang terpenting, kemampuan untuk merasa empati dan simpati melihat penderitaan orang lain, dan kemudian terdorong berbuat sesuatu untuk mengubahnya.
Semua kemampuan tersebut dapat disebut sebagai “imajinasi naratif” (narrative imagination), yang membuat kita dapat mengerti dengan baik keadaan orang lain, serta mengerti sungguh-sungguh apa yang menjadi gejolak emosi serta keinginan mereka. Proses pengembangan simpati merupakan tugas utama pendidikan pribumi. Konsep pendidikan imajinasi naratif ini juga merupakan inti dari teori pendidikan modern yang sangat menekankan pentingnya pendidikan pemanusiaan manusia dan seni (moral).

Akhirnya, tanpa bermaksud memutlakkan, karena menyadari perbedaan sejarah, budaya dan konteks sosio-antropologis archeology pendidikan dalam meletakkan gerak pembaharu pendidikan pada pandangan humanis (pribumi), langsung atau tidak, pandangan gerakan pembaruan pendidikan saat ini seyogyanya kembali mengacu pada gagasan para pemikir pedagogi-revolusioner seperti Rabindranath Tagore, Ivan fliich, Paulo Freire termasuk Ki Hadjar Dewantara. Sumbangan historis konsep dan gagasan mereka akan melengkapi pemahaman tentang pemaknaan ulang konsep pendidikan di tanah air.

Konsep Problem Possing Education atau pendidikan hadap-masalah, merupakan salah satu alternatif yang ditawarkan pemikir dan arkeolog bagi pendidikan kaum pribumi dan marginal agar peserta didik mampu memahami realitas sosial yang senyatanya disamping motif-motif lain, terutama motif ekonomi. Dan kiranya inilah yang coba ditawarkan dalam sistem pembelajaran di negeri ini dengan mengangkat sebuah mainstream pembelajaran kontekstual yang terkanalisasi dalam sebuah sistem Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang masih perlu kesadaran dan kerjasama kolektif untuk mewujudkannya.[ ]

Artikel Pendidikan

SEKOLAH; JARINGAN BUKAN SARINGAN

Kecaman-kecaman terhadap penyelenggaraan program-program studi di sekolah-sekolah tingkat dasar, tingkat menengah dan tingkat tinggi telah lama dikemukakan oleh berbagai kalangan pendidik, cendekiawan, pengajar-pengajar dari masing-masing jenjang pendidikan maupun dari anak didiknya sendiri. Kecaman-Kecaman itu pada umumnya berkisar pada identifikasi beberapa kesulitan dan hambatan dalam menyelenggarakan program-studi seperti misalnya fasilitas yang kurang memadai, metode-pengajaran dan sistem pendidikan yang perlu disempurnakan ataupun usaha-usaha untuk menyusun suatu kurikulum yang ideal. Kalangan pendidik, cendekiawan serta para sarjana biasanya berbeda pendapat mengenai segi-segi struktur dan proses pendidikan di sekolah-sekolah, tanpa menilai kembali asumsi-asumsi dasar mengenai manfaat orang bersekolah, Pendidikan disekolah dianggap sebagai suatu program kerja seseorang dalam usahanya untuk memperkaya dirinya mengenai bermacam-macam segi pengetahuan yang menjadi kegemarannya, sekaligus tempat ia mempersiapkan dirinya menghadapi tantangan-tantangan hidup. Demikianlah pada umumnya kalangan pendidik sepakat akan perlunya sekolah sebagai tempat untuk mempersiapkan orang-orang yang mahir berpikir kritis dan analistis, tetapi juga sanggup melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan keahlian-terapan. Disetiap kurikulum pendidikan tingkat tinggi di Indonesia, asumsi-asumsi ini telah menjelma dalam surat-surat keputusan mengenai kurikulum minimal yang diperlukan bagi setiap calon dokter, insinyur, ahli hukum dan lain sebagainya. Ivan Illich, seorang cendekiawan Amerika kelahiran Austria, bertahun-tahun lamanya mempelajari dengan seksama perkembangan sekolah-sekolah dan program-program studi di negara-negara Amerika Latin dan Afrika. Pada awal tahun 1960-an ia masih termasuk orang yang percaya dan yakin benar akan manfaatnya orang bersekolah seperti yang berulang-kali diajarkan filsafat liberal tentang “pembebasan manusia” melalui kesadaran dan kegairahan akan ilmu dan pengetahuan. Menjelang tahun 1970-an, Illich telah berubah sikap dan sekarang makin yakin bahwa sekolah — seperti yang sekarang ini diselenggarakan di banyak negara-negara yang maju maupun yang sedang berkembang — sebaiknya dibubarkan saja. Sebab, katanya, pendidikan yang diselenggarakan melalui sekolah-sekolah dewasa ini sudah menyimpang dari tujuan pendidikan yang sebenarnya. Sekolah sekarang ini menurutnya tidak lagi membedakan antara pengajaran dengan pelajaran, antara pengejaran nilai ujian dengan pendidikan, antara keterampilan melaksanakan suatu pekerjaan tertentu dengan usaha menciptakan pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasan baru. Tegasnya, Illich berkesimpulan bahwa orang yang masuk sekolah menyerahkan dirinya pada suatu program yang diarahkan pada pemujaan nilai jasa dalam pasaran kerja masyarakat, bukan lagi untuk mencetuskan serta menyebarluaskan cita pikiran baru yang diharapkan dapat menolong usaha mempertinggi martabat manusia. Bahaya akan pemujaan yang berlebih-lebihan terhadap nilai jasa pasaran kerja — istimewa dalam masyarakat massa dan masyarakat dimana taraf perkembangan teknologi dan sistem perekonomiannya sudah amat berkembang — bukanlah suatu peringatan baru dalam kepustakaan pendidikan. Semenjak awal tahun 1950-an, orang ramai mengajukan peringatan-peringatan akan timbulnya rasa keterasingan yang mudah dialami manusia yang hidup dalam masyarakat yang serba kompleks. Illich mengulangi tema-tema bahaya ini dengan memusatkan perhatiannya pada sekolah sebagai salah satu lembaga sosial yang amat berpengaruh dalam proses pembentukan sikap serta nilai-nilai para warga masyarakat. Menurut dia, program-program studi dikebanyakan sekolah-sekolah Amerika Serikat dan Amerika Latin condong untuk menjurus pada pembunuhan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Sekolah dipandang oleh Illich sekaligus sebagai lembaga sosial yang otoriter, represif, sepihak, terlalu mahal, hanya menguntungkan si kaya atas pengorbanan si miskin, dan (yang paling dirasakan sebagai kegagalan pokok) tempat memompa pengetahuan-pengetahuan yang sama sekali tidak berguna. Dengan kata lain, Illich berkesimpulan sekolah adalah tempat diteruskannya mitos-mitos dan kontradiksi-kontradiksi sosial serta wadah untuk melembagakan semua mitos dan kontradiksi sosial yang ada itu. Sekolah -dasar, menengah dan tinggi – menjadi tempat mencetak lebih banyak lagi penindas nilai-nilai dasar kemanusiaan yang seharusnya justeru dikembangkan dan disebarkan kepada warga masyarakat dari lembaga pendidikan yang namanya sekolah dasar, sekolah menengah dan perguruan tinggi. Jalan keluar yang disarankan Illich adalah perlu dikembangkannya suatu pendidikan yang sifatnya unik dan pribadi, yang harus dipisahkan dari kerangka sistem sekolah yang disusun dan ditentukan oleh masyarakat dan negara. Pendidikan yang baik, menurut Illich, ialah pendidikan yang diselenggarakan oleh orang-orang yang kira-kira sebaya. Orang harus dibebaskan dari belenggu ijazahisme, dari keketatan dan kesumpekan kurikulum, serta dari seluruh proses kerja produksi massa yang diselenggarakan oleh badan-badan swasta maupun lembaga-lembaga pemerintah. Akhirnya, si anak didik itu harus pula dibebaskan dari feodalisme struktur sekolah pada umumnya. Orang seyogianya bebas untuk memilih dan menuntut pengetahuan dari siapapun yang ia sukai, agar supaya ia tidak saja akan gemar akan pengetahuan yang diperolehnya akan tetapi juga gairah akan hubungan timbal-balik yang terjadi antara dia sebagai anak-didik dengan gurunya sebagai pendidik. Sebab hanya atas dasar rasa hormat dan rasa kagum pada si pendidik, tujuan pendidikan yang sebenarnya — yaitu mengagungkan nilai-nilai kemanusiaan — dapat dicapai. Tegasnya, sebagai alternatif dari sistem saringan yang sekarang membuat orang harus disalurkan melalui bermacam tahap sekolah, Illich mengajukan saran dibukanya jaringan-jaringan ilmu dan pengetahuan, yang dapat dimanfaatkan oleh setiap warga masyarakat yang membutuhkannya. Apakah yang menjadi latar belakang dari pemikiran-pemikiran yang kontroversil seperti ini? Apakah pandangan-pandangannya sekedar cermin dari kecemasan dan kegusaran seorang cendekiawan yang muak akan ketidakadilan dan kesengsaraan yang disaksikannya di negara-negara Amerika Latin, dan akhirnya mencari jalan keluar “diluar sistim”, yang cepat, radikal dan menyeluruh? Sampai seberapa jauh pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh Illich beserta rekan-rekannya dari CIDOC (Center for Intercultural Documentation) di Cuernavaca, Mesxico, dapat memberi pelajaran buat dikalangan pendidikan di negara-negara yang sedang berkembang? Essei-essei yang dihimpun dalam buku ini sebagian besar dipikirkan dan ditulis pada masa krisis sosial dan politik terjadi di Amerika Serikat serta kegagalan-kegagalan beberapa program perencanaan pendidikan yang dibiayai oleh badan-badan Amerika Serikat di negara-negara Amerika Latin. Sejauh sistem sekolah dan sistem pendidikan Amerika Serikat berpengaruh pada pola-pola sistem pendidikan negara-negara Amerika Latin (istimewa pendidikan tenaga-tenaga administrasi pembangunan) maka apa yang diperingatkan oleh Illich agaknya ditujukan pula kepada kalangan pendidik dibanyak negara-negara yang sedang berkembang. Sebab tidak sedikit negara didunia ini yang memakai sistem Amerika Serikat sebagai model yang perlu ditiru. Oleh karena orientasi semacam ini melibat masalah-masalah nilai, ada baiknya dikemukakan lebih dahulu apa yang menjadi ideologi fungsi sekolah di Amerika Serikat itu. Kemudian baik pula diketahui apa yang oleh Illich beserta rekan-rekannya dianggap sebagai kenyataan-kenyataan yang berlaku. Salah satu ideologi yang dikemukakan sebagai dasar mengapa sekolah harus diadakan disetiap masyarakat modern ialah kepercayaan bahwa sekolah membuka kesempatan yang merata bagi setiap orang yang mau belajar. Menurut pemikiran ini, siapa saja – asal dia mau — bisa berhasil dalam cita-citanya untuk menjadi seorang cendekiawan yang terkemuka ataupun sebagai teknokrat, kalau saja dari sekolah ia sudah memperoleh latihan-latihan kerja serta pelajaran-pelajaran yang dipilihnya. Dalam kenataan, kata Illich, setiap kesempatan yang dipakai oleh si-A pada hakekatnya harus merugikan si-B. Kemajuan yang diperoleh si-A disekolah (misalnya dengan mendapat nilai-ujian yang tinggi) dengan sendirinya membatasi kesempatan yang sama bagi si-B. Adanya sistem nilai-ujian memberikan semacam “hierarki” prestasi akademis. Atas dasar adanya hierarki itu, maka diukurlah siapa-siapa yang memenuhi persyaratan-persyaratan ilmiah, siapa-siapa yang tidak. Ideologi kedua yang kerapkali membelenggu pemikiran kaum pendidik dibanyak negara ialah anggapan bahwa melalui suatu perombakan kurikulum, setiap anak-didik yang diberi pelajaran-pelajaran pilihan akan mendapat kebebasan memilih program-studi yang menurutnya akan bermanfaat. Dalam kenyataannya, menurut Illich, si-anak didik itu semata-mata dibuat seolah-olah dia memiliki kebebasan memilih pelajaran atau mata kuliah yang ia sukai. Padahal seluruh program-studi pilihan pun sudah banyak diarahkan untuk memenuhi permintaan-permintaan yang kian meningkat akan tenaga-tenaga teknisi dan tenaga-tenaga professional yang diperlukan oleh birokrasi pemerintahan dan perusahaan-perusahaan swasta yang kuat dan besar. Melalui suatu ritual demokrasi, orang dibuat percaya seolah-olah ia benar-benar turut serta dalam proses pengambilan keputusan, serta mitos-mitos lainnya mengenai partisipasi masyarakat yang senantiasa didengung-dengungkan dalam buku-buku civics dan matakuliah-matakuliah mengenai ideologi negara dan sistem pemerintahan nasional. Konsep kemajuan merupakan dasar ketiga dari ideologi perlunya sekolah dalam masyarakat modern. Masyarakat dibuat percaya bahwa proyek-proyek penelitian akan menghasilkan gagasan-gagasan baru serta penemuan-penemuan orisinil yang membantu usaha pembangunan nasional. Menurut jalan pemikiran ini, makin banyak diselenggarakan penelitian, makin besar kemungkinan masalah-masalah yang perlu dipecahkan dapat diatasi. Sebab cara-cara baru pun akan dapat dikembangkan untuk kepentingan umum. “Pemecahan masalah” menjadi slogan pokok, sesuai dengan perhitungan yang didasarkan pada adanya sasaran yang harus dicapai, pemilihan teknik yang jitu serta pertimbangan untung rugi setiap kegiatan penelitian. Illich membantah keras manfaat penelitian yang sering dilakukan oleh sekolah atas nama “kemajuan ilmu pengetahuan” ataupun atas nama alasan-alasan lain. Ia menyangsikan apakah hasil-hasil penelitian yang dilakukan dalam berbagai bidang pengetahuan di perguruan-perguruan tinggi, misalnya, sungguh-sungguh menghasilkan hal-hal yang baru dan yang patut dibanggakan. Ia lebih condong untuk secara terus terang mengatakan bahwa kegiatan penelitian pun sudah diritualkan, dibuat seolah-olah penting dan perlu, padahal sama sekali tidak ada sumbangannya baik bagi perkembangan ilmu maupun bagi apa yang secara sloganistis disebut sebagai pengabdian masyarakat. Seperti halnya embel-embel suatu upacara, segala sesuatunya kelihatan bagus dan menarik, kemudian diberi merek “baru”. Padahal kalau benar-benar ditelaah, yang namanya baru itu sebenarnya yang lama dan yang itu-itu juga. Ideologi efisiensi menjadi sasaran kecaman Illich yang terakhir mengenai manfaat sekolah. Apabila efisiensi dipakai sebagai patokan untuk meneruskan hak-hidupnya sekolah, maka sekolah itu sudah berhenti menjalankan fungsinya yang hakiki; menaikkan martabat kehidupan manusia. Bila sekolah diarahkan pada pemecahan masalah, maka program studi yang diselenggarakan di dalamnya hanya akan mencerminkan pengajaran pengetahuan-pengetahuan yang terpaksa diberikan. Banyak guru dan dosen terpaksa mengerjakan tugas masing-masing semata-mata karena tidak ada pekerjaan atau bidang lain yang sanggup dan sungguh-sungguh ingin dikerjakannya. Oleh karena orang yang tidak bekerja akan merasa dirinya kurang bermanfaat, maka iapun akan berusaha sedemikian rupa sehingga ia nampak sibuk bekerja. Takut dikenakan cap sebagai orang yang pemalas, ia masuk ritual kegiatan yang sebenarnya tidak perlu ia lakukan. Kalau kita uji semua pemikiran-pemikiran dasar yang menjiwai hak hidup sekolah seperti di atas, terhadap kenyataan kehidupan masyarakat sekolah Indonesia dewasa ini, nyatalah bahwa peringatan Illich itu bukannya tidak bermanfaat bagi kita. Bagaimanapun juga, dalam setiap kegiatan pembinaan kurikulum di negara kita sekarang ini, banyak sekali kegiatan diarahkan dalam bidang keahlian-terapan untuk memenuhi apa yang lazim dikenal sebagai “tuntutan-tuntutan masyarakat yang sedang mengalami perubahan yang amat cepat”. Ideologi teknokrasi yang kini memikat kaum muda dan calon sarjana-sarjana di universitas menjurus pada penggunaan cara kerja dan sasaran-sasaran organisasi yang abstrak. Jarang sekali asumsi-asumsi dasar dari rencana program atau proyek itu ditanya kembali dalam hubungannya dengan segi-segi perbaikan mutu kehidupan manusia. Tuntutan relevansi menyisihkan akan perlu dipertimbangkannya pendidikan yang benar-benar memberi makna hidup bagi si calon murid dan si calon mahasiswa, yang menjadi objek aneka ragam program studi yang saat ini diselenggarakan oleh perguruan-perguruan tinggi negeri maupun swasta. Bagi Illich, pendidikan yang memberi kepada si anak-didik jalan baginya untuk mencari makna hidup itulah pendidikan yang sebaik-baiknya dapat diberikan kepada seorang manusia. Sumber-sumber pendidikan dalam arti yang ini harus disusun dan terkumpul sedemikian rupa sehingga si anak-didik dapat merumuskan sendiri apa yang ia kehendaki dari hidupnya, dari pengalaman pendidikan yang ia cari-cari itu. Kecuali sumber-sumber yang dapat diperoleh dari perpustakaan, laboratorium dan museum-museum. Illich menyarankan disediakannya bahan-bahan pengetahuan ini diseluruh pelosok negara. Si petani, si pekerja kasar maupun si pekerja menengah dapat sewaktu-waktu menggunakannya bagi pengembangan pengetahuan pribadinja. Pengetahuan serta keahlian yang dimiliki setiap anggota masyarakat hendaknya dicatat pada suatu daftar yang memuat semua jenis bidang keterampilan yang tersedia, supaya orang lain dapat menghubungi masing-masing orang yang dianggapnya dapat memberikan pelajaran baginya. Jaringan hubungan antara orang-orang yang sebaya dan yang pengetahuannya kira-kira setaraf dimaksudkan agar setiap orang dapat mencari kawan karib yang membantu proses memperkaya masing-masing. Illich juga menganjurkan agar orang-orang yang bergerak dalam dunia profesi — ahli hukum, wartawan-wartawan kawakan, dokter-dokter spesialis — memanfaatkan diri untuk mengisi pendidikan beberapa bidang pengkhususan yang tidak dapat diselenggarakan oleh program studi yang resmi di sekolah-sekolah. Konsepsi pendidikan yang serba luas dan serta baru seperti ini dengan sendirinya tidak lagi memisahkan bidang-bidang ilmu pengetahuan sebagaimana lazimnya kita kenal. Ini juga berarti bahwa akan amatlah sulit untuk membedakan pengetahuan mana yang namanya “ilmiah-akademis” dan pengetahuan mana yang bukan ilmiah serta tidak akademis. Para perencana pendidikan, birokrat-birokrat yang bertugas menjalurkan dana-dana dan fasilitas yang berhubungan dengan pembinaan kurikulum, serta para ahli yang gandrung akan berbagai macam sistem kerja sudah pasti akan memberi vonis yang tidak menguntungkan pemikiran-pemikiran yang diadjukan Illich. Barang tentu tidak semua gagasan Illich dalam bukunya ini akan mempunjai implikasi yang sama bagi tiap negara yang sedang berkembang. Salah satu kelemahannya ialah misalnya bahwa Illich tidak memberikan ukuran bilamana dan pada taraf perkembangan ekonomi teknologi yang bagaimana sistem sekolah mulai mematikan nilai-nilai dasar kemanusiaan yang senantiasa dipentingkan olehnya. Tidak juga jelas apakah dalam menganalisa sekolah-sekolah diberbagai negara yang ia ketahui itu Illich sudah mempertimbangkan aneka ragam sistem pendidikan, baik karena perbedaan latarbelakang budaya maupun karena perbedaan taraf perkembangan perekonomian serta kekuatan lembaga-lembaga sosial. Sebab jika menggunakan perbandingan beberapa negara hanya atas dasar variable penyelenggaraan pendidikan sebagai suatu proses sekolah, amatlah sulit untuk diyakinkan bahwa satu variabel ini bisa menjelaskan semua. Boleh jadi Illich terlalu sering pula mengemukakan pandangan-pandangan yang sifatnya mirip-mirip polemik ideologi (ia djelas bersimpati pada gerakan-gerakan “New Left” yang banyak mempengaruhi kegiatan beberapa kampus terkemuka di Amerika Serikat, umpamanya), sedemikian rupa sehingga sering kehilangan perspektif pendidikan yang ilmiah. Tetapi barangkali inilah justeru maksud Illich yang sebenarnya; untuk menunjukkan bahwa setiap proses pendidikan sekolah dimanapun, tidak bisa lepas dari struktur kekuasaan serta pola-pola kepentingan dari unsur-unsur penguasa yang mengambil keputusan tertinggi dalam berbagai bidang. Termasuk bidang pendidikan dan penyelenggaraan program studi melalui sekolah-sekolah. Jasa Illich adalah mengingatkan kembali kepada kita semua akan sulitnya perencanaan manusia serta bahaya-bahaya yang akan timbul kalau seorang birokrat atau sarjana terpukau pada suatu rencana atau design yang dianggapnya sudah rapih, lengkap dan sempurna. Ada baiknya kalau para sarjana yang bekerja dibadan-badan panasehat Departemen Pendidikan Nasional mulai membalik-balik halaman buku ini. Suatu skeptisisme yang sehat sekali-sekali perlu ditanamkan dalam pemikiran-pemikiran mereka yang serba “goal-oriented“.

DOBOOOOOOOOOOL

Ivan Ilich, Provokator Pembubaran Sekolah Bagi kaum Humanis Romantik, pendidikan mempunyai makna yang luas.Pendidikan adalah segala situasi dalam hidup yang mempengaruhi pertumbuhan seseorang.Pendidikan adalah pengalaman belajar. Dalam hal ini pendidikan didefinisikan sebagai seluruh pengalaman belajar setiap orang sepanjang hidupnya.Dalam pengertian yangmaha luas, pendidikan berlangsung tidak dalam batas usia tertentu, tetapi berlangsung seumur hidup. Kaum Humanis Romantik mengecam praktik penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Menurut pendapat mereka praktek pendidikan sekolah mengakibatkan dehumanisasi, atau pengikisan nilai-nilai kemanusiaan peserta didik. Sekolah terasing dari kehidupan nyata. Keberadaan guru yang cenderung otoriter mengakibatkan terhambatnya perkembanagan individu secara optimal. Salah satu tokoh humanis Romantik yang paling radikal dalam mengecam praktik pendidikan di sekolah adalah Ivan Illich. Melalui bukunya yang berjudul “ Deschooling Society “ (Masyarakat Tanpa Sekolah), ia mengkritik habis-habiasan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dan pendapatnya yang cukup mengusik para praktisi pendidikan di sekolah adalah peniadaan atau pembubaran sekolah di masyarakat. Adapaun alasan yang ia kemukakan diantaranya, sekolah mengasingkan peserta didik terhadap kehidupan, sekolah tidak menjamin peserta didik untuk mendapat pendidikan secara bebas, sekolah kurang memberi ruang bagi berkembangnya kepribadian peserta didik untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensinya. Ivan Illich berpendapat untuk memperoleh hasil belajar melalui tumbuh di sekeliling orang-orang yang mempunyai ketrampilan dan nilai-nilai yang dapat dijadikan contoh. Anak-anak menghadapi kawan-kawan yang menantangnya untuk bernalar, bersaing, bekerjasama, dan memperoleh pengertian. Sumber belajar bagi anak menurut ia adalah, benda-benda contoh-contoh,kawan-kawan sebaya dan orang-orang tua yang mampu mebimbing.Jadi menurutnya sekolah sebagai penyelenggara pendidikan secara formal yang dilengkapai dengan seperangkat kurikulum wajib yang harus disajikan oleh guru agar anak dengan usia tertentu dapat menguasinya tidak diperlukan. Sekolah justru akan mematikan kebebasan anak dalam belajar. Sekolah dengan pengaturan yang ketat dalam waktu, tempat, bentuk kegiatan dan tujuan belajar bukanlah tempat yang baik, karena mengekang kebebasan. Pendapat kaum humanis romantik khususnya Ivan Illich tentunya tidak sepenuhnya benar. Sekolah tetap diperlukan agar pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tingkat kemampuan anak dalam menerima ilmu pengetahuan yang diperlukannya. Sekolah menyediakan berbagai macam pengetahuan yang dibutuhkan anak dalam menghadapi tantangan-tantangan yang dihadapinya dalam kehidupan. Adanya praktik otoriter oleh guru dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah merupakan kasus, yang tidak dapat ddigunakan untuk menggeneralisasi. Memang sampai saat ini tidak semua anak dapat menikmati pendidikan yang di selenggarakan di sekolah, namun demikian anak tersebut dapat memperoleh pendidikan melalui jalur non formal baik yang diselenggarakan oleh pemerintah atau swadaya masyarakat. Tampaknya kritik pedas Ivan Illich terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah perlu dijawab dengan berbagai perbaiakn pendidikan di Sekolah. Munculnya guru yang lebih demokratis dan memberi runag bagi berkembangnya kepribadian peserta didik perlu selalu di dorong. Sekolah yang lebih humanis dimana siswa tidak lagi terasing oleh kehidupan di sekitarnya perlu dikembangkan.

Tuesday, June 14, 2011

JANCOKZ

Bahaya Oral Sex. Ada artikel kesehatan yang menarik pagi tadi saat saya membuka sebuah situs ternama. Rasanya ini penting untuk saya ketahui dan sekaligus saya share kepada siapapun. Dari judulnya saja sudah menarik : Oral Sex Memicu Kanker Mulut dan Tenggorokan.

Saya yakin bahwa masih minimnya pengetahuan akan hal ini, pelaku atau orang yang melakukan oral sex kurang menyadari ada bahaya yang mengintip di balik aktifitas sex langsung tersebut.

Istilah oral sex sendiri sudah banyak yang salah kaprah, menurut artikel kesehatan tersebut pengertian oral sex itu adalah hubungan langsung antara mulut dengan vagina yang disebut cunnilingus, sedangkan kontak antara mulut dengan penis sisebut fellatio.

Bintang film Jaime Winstone kepada BBC dalam sebuah presentasi mengatakan bahwa oral sex bisa menimbulkan gangguan kesehatan. Jaime mengutip hasil penelitian para ahli di pusat penelitian kanker di Inggris yang meneliti kebiasaan kaum muda Inggris yang doyan oral seks. Kebiasaan melakukan oral sex bisa menyebabkan kanker mulut dan tenggorokan.

Sebanyak 50 % laki laki yang melakukan oral sex menderita kanker mulut sedangkan kaum wanita yang terkena kanker mulut rata-rata 3% akibat menghisap rokok. Hasil penelitian itu juga menyebutkan, 1800 orang meninggal setiap tahun karena suka oral seks.

Melihat prosentase yang tidak kecil tersebut sangat disayangkan justru banyak yang tidak menyadarinya akan resiko yang diakibatkan oleh oral sex tersebut seperti herpes di mulut atau alat kelamin, chlamydia dan gonorrhea menyerang bagian tenggorkan, HIV, HPV, sipilis, dan Hepatitis A. Mengerikan !

Lembaga penelitian ini juga menyarankan menghindari luka di bagian mulut dan alat vital ketika melakukan oral seks agar terhindar dari infeksi. Atau bisa juga dengan menggunakan cairan tertentu. Hanya tidak dijelaskan cairan yang dimaksud itu apa dan bagaimana menggunakannya.

Monday, May 23, 2011

Fredrich Nitzsche (Nabi Pembunuh Tuhan)

fredrich nietzsche adalah suara ganjil dari zaman modern. filsuf yang satu ini di kenal sebagai sebagai pemberontak terhadap kemapanan dan dogmatisme. dialah orang pertama yang terang-terangan menyatakan bahwa "tuhan telah mati" dengan tanpa gentar, dia juga menyuarakan nihilisme sebagai kebajikan utama, menggantikan nilai-nilai moralitas yang menurutnya telah usang.
membaca fikiran nietzche, kita akan di hadapkan pada satu sosok yang tak kenal lelah untuk mencari kebenaran. "jika engkau ingin menjadi murid kebenaran, carilah..." katanya. ia selalu memprovokasi pembacanya untuk tak berhenti pada satu keyakinan. ia mengajak orang-orang untuk mempertanyakan ulang apa yang tabu, bahkan haram, untuk di sentuh.
karena itu ia begitu sering di cemooh. ia di cap atheis, meskipun di akhir hidupnya ia terus menyebut-nyebut nama tuhan dan begitu merindukannya. ia juga di labeli "gila". pikiran-pikirannya di anggap tak lebih dari lamunan kosong manusia tak waras.
tapi betapapun kontroversialnya. nietzsche memang hadir untuk mengguncang. ia melawan arus zamannya, ketika banyak orang optimis pada dunia, ia membalikkan keyakinan pada ilmu pengetahuan dan agama. ia juga berteriak sinis terhadap kekuasaan, ketika banyak orang di zamannya takluk dan menghamba pada negara. bagi nietzsche, semua ini adalah semua rintangan yang harus di atasi agar menjadi kuat. semua ini adalah ilusi, yang akan membuat orang puas dan berhenti mencari.

Friday, April 8, 2011

Agama, Akal, dan Kebebasan Tentang Makna “Liberal” dalam Islam Liberal*

Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai.
Ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang, bahwa istilah “liberal” dalam Islam liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas, atau bahkan disetarakan dengan sikap permisif, ibahiyah; sikap menolerir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan cara pandang semacam itu, Islam liberal dipandang sebagai ancaman terhadap keberagamaan yang sudah terlembaga.

Dalam Islam, persoalan “batasan” (hadd) antara mana yang boleh (mubah) dan yang tak boleh (mahdzur), menempati kedudukan yang begitu sentral. Setiap orang Islam selalu peduli pada apa yang dia kerjakan, apakah pebuatan itu boleh atau tidak. Inilah yang kemudian melahirkan suatu bidang kajian yang sangat kaya dan meninggalkan ribuan literatur yang canggih, yaitu bidang fikih. Setiap pembicaraan tentang hukum selalu rujukannya adalah fikih. Ketika muncul diskusi yang ramai soal penerapan hukum Islam, maka fikih menjadi fokus perhatian, sebab dalam fikih lah sebagian besar hukum Islam dirumuskan.
Dalam diskusi-diskusi itu, kelihatan sekali bahwa tekanan diberikan kepada “kewajiban”, yaitu kewajiban seorang Muslim terhadap Allah, sesama manusia, dan dirinya sendiri. Bahasa kewajiban lebih menonjol, menutup bahasa hak dan kebebasan manusia. Islam liberal muncul dalam semangat untuk menyeimbangkan “neraca” antara bahasa kewajiban dan kebebasan/hak ini. Untuk itu, marilah kita masuki sebuah tema dasar yang menjadi debat dalam pemikiran Islam klasik: soal tindakan manusia (af’alul ’ibad).
Otonom atau tidak?
Marilah kita mulai dengan pertanyaan sederhana: apakah manusia bisa, dengan akal, intuisi dan fitrahnya, mencapai pemahaman yang mendalam mengenai kebaikan dan kejahatan? Apakah untuk mengetahui hal-hal itu, manusia harus menungguh wahyu dari "langit"? Apakah gunanya agama, jika toh manusia sudah mampu mencapai sendiri pemahaman mengenai "yang baik" dan "yang jahat"? Apakah manusia secara moral otonom dalam mengetahui kebaikan dan kejahatan, atau tergantung pada entitas di luar dirinya?
Dalam masalah ini, ada dua jawaban yang tersedia dalam khazanah pemikiran Islam klasik. Ada golongan Sunni yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan dan kejahatan itu haruslah ditentukan oleh agama. Manusia baru tahu bahwa tindakan ini jahat atau baik setelah mendapatkan pengajaran dari agama. Golongan kedua adalah Mu'tazilah yang memandang bahwa manusia dengan akalnya sendiri dapat mengetahui batas-batas kebaikan dan kejahatan, batas-batas kepantasan. Sudah tentu, jika dikatakan bahwa akal manusia dapat menentukan batas-batas tersebut, tidak berarti bahwa seluruh batas itu sudah diketahui oleh akal dari hari pertama. Akal manusia berkembang, mengalami evolusi, dan akan makin matang.
Saya lebih cenderung pada pandangan kaum Mu'tazilah. Tetapi, harap lah disadari bahwa dengan menerima pendapat Mu'tazilah, bukan berarti saya menepiskan peran wahyu dalam memperkaya wawasan akal manusia untuk memahami batas-batas itu. Setiap wahyu membawa suatu wawasan tertentu mengenai "yang baik" dan "yang jahat". Wahyu dapat mengangkat derajat akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat lebih memahami batas-batas. Tetapi, wahyu bisa memerosotkan akal manusia, manakala wahyu itu mengalami "vulgarisasi", yaitu wahyu yang telah dibajak oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang bersifat duniawi. Agar wahyu itu bisa pulih kembali dan memperoleh inegritasnya lagi sebagai sumber moralitas, maka diperlukan akal yang bertanggung jawab dan penuh integritas. Kita semua tahu, bahwa wahyu itu adalah laksana horison atau cakrawala yang tak berbatas. Hampir mustahil bagi akal manusia yang terbatas untuk menjangkau seluruh horison wahyu. Karena cakrawala wahyu yang terbentang luas itu, maka siapapun dapat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. Garansi bahwa wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah integritas akal manusia itu sendiri.
Salah satu hadis Nabi mengatakan, "al itsmu ma haka fi nafsika wa karihta an yath-thali'a 'alaihin naas". Dosa adalah sesuatu yang menimbulkan kekeruhan dan kekacauan di hatimu, dan kamu tak suka orang lain melihatmu melakukannya. Hadis ini memberikan tekanan yang tegas kepada kemampuan manusia, berdasarkan intuisinya, untuk mencapai pemahaman yang benar mengenai dosa. Kenapa demikian? Haruslah diketahui, bahwa agama pada menit pertama adalah merupakan soal keinsafan/kesadaran pribadi; agama bukanlah aturan obyektif yang bisa begitu saja didesakkan secara paksa dari luar. Itulah sebabnya, sebuah hadis mengatakan "innamal a'malu bin niyyaat", sesungguhnya segala tindakan tidaklah akan menjadi tindakan yang "genuine" tanpa niat dan dorongan emotif yang sungguh-sungguh bertanggungjawab. Dalam hadis lain dikatakan, "niyyatul mu'min khairun min 'amalihi", niat dan dorongan emotif yang sifatnya subyektif lebih mulia dari tindakan. Wilayah niat ada dalam wilayah subyektivitas manusia; wilayah itu mempunyai ciri-ciri kebebasan. Jadi, aturan-aturan obyektif yang ditetapkan oleh agama, tidaklah bermakna dalam kerangka beragama jika dilepaskan dari motif subyektif manusia.
Saya tidak melihat suatu ide apapun dalam Islam di mana manusia ditempatkan sebagai obyek moral yang pasif. Akal manusia merupakan partisipan yang aktif dalam menafsiran ide-ide ketuhanan yang terkandung dalam wahyu. Saya tidak pernah membayangkan bahwa wahyu dalam pandangan Islam memandang "dunia manusia" sebagai dunia hobbesian yang kotor, brutal, sementara, dan licik, dan karena itu wahyu turun sebagai suatu "leviathan" yang bengis. Islam meletakkan manusia dalam posisi yang penuh martabat, sebagai "khalifah" yang memenuhi tugas ketuhanan untuk memperbaiki kehidupan di bumi. Pandangan-pandangan keislaman populer kerapkali menggambarkan wahyu sebagai "leviathan" semacam itu. Manusia, dalam pandangan populer semacam itu, kerapkali ditempatkan sebagai "barang" yang sama sekali kosong dari suatu motif yang bebas. Inilah proses vulgarisasi Islam sebagaimana pernah ditunjuk oleh Prof. Khaled Abou El Fadl.
Dalam situasi yang sudah "vulgar" semacam itu, yang pertama perlu direstorasi adalah martabat manusia itu sendiri. Jika manusia sebagai subyek moral yang bebas sudah tidak lagi ada atau disangkal, apakah gunanya sebuah agama? Qur'an berkali-kali menyindir orang Yahudi sebagai "keledai yang mengangkut berjilid-jilid kitab", matsalulladzina hummilut Taurata kamatsalil khimari yahmilu asfaara. Keledai tak akan pernah bisa mendapatkan manfaat apapun dari barang-barang yang diangkutnya. Wahyu tidak akan berguna bagi seekor keledai. Dan tak ada gunanya mendakwahkan kedalaman dan kesempurnaan wahyu kepad keledai. Jika manusia telah dikosongkan dari motif, dan otonominya sebagai subyek moral telah disangkal, apakah yang tersisa dari manusia semacam itu selain "jasad" yang pasif. Nabi pernah bersaba, "ad dinu huwal 'aql, la dina liman la 'aqla lahu", agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tak mempunyai akal.
Oleh karena itu, kebebasan manusia adalah perkara prinsip yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Banyak orang mengira bahwa kebebasan semacam itu menyebabkan manusia memberontak kepada agama dan wahyu. Ada yang mengira bahwa dengan membatasi kebebasan itu, mereka telah melindungi wahyu. Ini jelas pandangan yang salah. Sebab, begitu kebebasan manusia dibatasi, maka dimensi-dimensi terdalam yang subtil dari wahyu akan sulit diungkapkan oleh manusia. Sebab, untuk memahami kompleksitas wahyu, diperlukan akal manusia yang matang. Sebuah hadis qudsi yang populer di kalangan sufi menyatakan, "Aku (Allah) adalah 'kanzun makhfiyy’, harta karun yang tersembunyi. Aku ingin diketahui, maka Aku ciptakan manusia." Hadis ini memberikan suatu penegasan yang penting bahwa manusia diciptakan untuk "menggali" dimensi-dimensi yang tersembunyi dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi jika tidak mengandaikan adanya manusia sebagai subyek yang bebas dan otonom.
Orang-orang yang mengatakan bahwa dengan memberikan kebebasan, anda telah menjerumuska manusia ke jurang kesesatan, dari menit pertama mereka itu sudah mengingkari nilai kemanusiaan. Keledai selalu takut pada kebebasan, dan terus-menerus mencari majikan yang dapat menuntunnya. Sesungguhnya Islam tidak membutuhkan orang-orang semacam itu. Kecemerlangan Islam justru akan dimungkinkan karena adanya manusia-manusia yang berpikir bebas dan kemudian mampu menyingkapkan rahasia-rahasia terdalam dari wahyu.
Ibadah sebagai “I-Thou”
Tujuan pokok dari agama adalah mengangkat martabat kemanusiaan. Wahyu adalah sarana saja menuju ke arah itu. Fokus pertama dalam agama adalah manusia itu sendiri, bukan semata-mata Tuhan. Adalah salah besar suatu anggapan populer yang mengatakan bahwa tugas pokok manusia adalah "menyembah" Tuhan. Pandangan ini bersumber dari pemahaman yang salah atas ayat "wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya'budun," dan tidak Aku ciptakan manusia kecuali untuk menyembah-Ku. Ayat ini, jika dipahami dalam kerangka populer yang cenderung anti-humanistik, dapat berarti bahwa agama itu tidak lain adalah penundukan manusia. Manusia seolah-olah ancaman bagi Tuhan sehingga harus ditundukkan kepada kehendak-Nya. Tidak ada pemahaman yang lebih kotor mengenai hakikat ketuhanan kecuali pemahaman seperti ini. Pandangan mengenai manusia sebagai Prometheus yang berseteru dengan Tuhan hanyalah ada dalam mitos Yunani kuno. Saya melihat, pandangan populer yang berkembang di kalangan umat Islam mengenai ayat tersebut cenderung kepada suatu citra manusia sebagai Prometheus. Bedanya, Prometheus versi Islam adalah Prometheus yang kalah oleh kehendak Tuhan. Ini jelas suatu citraan manusia yang tidak sesuai dengan semangat Islam. Saya kurang setuju dengan penerjemahan kata "ibadah" sebagai penyembahan, atau "worship" dalam bahasa Inggris. Sebab, penyembahan mempunyai makna yang negatif dalam sejumlah hal.
Penyembahan mengandaikan bahwa obyek yang "disembah" adalah obyek yang "mati", di-reifikasi, di-fiksasi. Penyembahan selalu merupakan proses yang sepihak, bukan proses dialogal yang hidup antara subyek dan subyek. Jika diletakkan dalam kerangka filsafat Martin Buber mengenai relasi antar manusia, penyembahan adalah sebentuk hubungan antara Allah dan manusia sebagai hubungan "I-it", "aku-dan-dia". Allah, dalam kerangka penyembahan semacam itu, telah "dibendakan". Allah yang disembah adalah Allah yang diberhalakan, yang di-fiksasi dalam gambaran yang tetap seperti sebuah "idol". Saya berpandangan bahwa seharusnya manusia berhubungan dengan Allah bukan dengan cara seperti itu. Hubungan yang tepat antara manusia dengan Allah adalah hubungan dalam kerangka "I-Thou", aku-Engkau. Agama yang didasarkan pada penyembahan dalam kerangka hubungan "I-it" hanya akan memerosotkan martabat manusia dan Allah itu sendiri. Arti ayat tersebut lebih tepat dipahami sebagai hubungan Allah-manusia dalam model “I-Thou”; bukan penyembahan, tetapi proses dialogal yang kreatif.
Penyembahan pada Tuhan tidak mempunyai makna apa-apa jika tidak diletakkan dalam kerangka manusia sebagai subyek yang bebas, dengan akal yang bekerja secara leluasa. Qur'an mengatakan, "qad tabayyanar rushdu minal ghayy", telah jelas jalan kebaikan dan kesesatan. "Fa man sya'a fal yu'min wan man sya'a fal yakfur," jika manusia mau, dia boleh mengimani jalan itu, dan jika mau, dia boleh mengingkarinya. Fakta-fakta ini begitu jelasnya tertuang dalam sumber utama ajaran Islam, Qur'an dan Hadis. Tetapi, proses-proses kesejarahan dalam Islam sendiri telah mengubah agama itu menjadi agama hukum yang dilandaskan kepada pemaksaan, dengan lebih banyak menekankan bahasa kewajiban. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi Islam kecuali pandangan yang mencoba mengubah karakter agama itu sebagai agama fitrah, menjadi agama hukum yang ditegakkan atas paksaan.
Kesimpulan yang hendak saya tuju dari ulasan yang agak "ruwet" dan panjang ini adalah bahwa dengan membubuhkan kata "liberal" pada Islam, sesunggunya saya hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang jangkarnya adalah "niat" atau dorongan-dorongan emotif-subyektif dalam manusia itu sendiri. Dan sebaiknya kata liberal dalam "Islam liberal" dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata "liberal" di sini tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sikap-sikap permisif yang melawan kecenderungan "intrinsik" dalam akal manusia itu sendiri. Dengan menekankan kembali dimensi kebebasan manusia, dan menempatkan manusia pada fokus penghayatan keagamaan, maka kita telah memulihkan kembali integritas wahyu dan Islam itu sendiri.
Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai.
*Ulil Abshar-Abdalla

Followers