Senin, 13 Oktober 2008
Mengembangkan Imajinasi Naratif dalam Pendidikan Alternatif
Pendidikan merupakan proses yang dilakukan oleh masyarakat di belahan
dunia mana pun. Tujuan dalam proses pendidikan tersebut [dalam Islam]
sering disebut dengan fitrah. Fitrah manusia adalah menjadi merdeka dan
menjadi bebas. Kesemuanya itu disebut dengan tujuan humanisasi
(ke-ummat-an).
Sepanjang sejarahnya, pendidikan bukanlah proses
yang didalamnya terdapat pemaksaan atau doktrin, tetapi gerakan melawan
kecenderungan tersebut. Pengetahuan pun bukan barang jadi yang tinggal
diterima, tapi sebuah hasil penjelajahan yang memerlukan kreativitas
serta kebebasan pemaknaan. Itulah kiranya idealitas pendidikan.
Namun
pada kenyataanya, pendidikan yang diharapkan mampu menjadikan diri
serta orang lain terentaskan dari penindasan dan kesengsaraan justru
menjadi aktor yang menindas manusia. Selama ini, kita melihat penindasan
justru lahir dari dunia pendidikan yang kita banggakan dengan sebuah
lembaga yang bernama sekolah. Dari semua hal tersebut ada sebuah
perenungan yang bisa kita jadikan evaluasi bersama, benarkah sekolah
adalah satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas pendidikan bagi
masyarakat? Benarkah orang yang tidak bersekolah identik dengan predikat
tak berpendidikan? Bagaimana pendidikan seharusnya dimaknai? merupakan
beberapa hal yang perlu mendapatkan jawaban dan pensikapan yang lebih
bijak.
Menimbang Pendidikan Alternatif
Pendidikan sejak awal
perkembangannya dianggap bagian penting dari perjuangan melawan penguasa
“kolonial”. Pikiran itu berkembang setelah timbul dan adanya kesadaran
bahwa kolonialisme mungkin bertahan bukan hanya karena keserakahan dan
kejahatan penguasa, tapi juga karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan
rakyat pribumi untuk melawan, seperti halnya di Indonesia, selama kurang
lebih tiga setengah abad lamanya.
Pendidikan yang berpijak pada
budaya “pribumi” di Indonesia mulai bersemi di tengah dominannya model
pendidikan kolonial yang diskriminatif sejak awal abad ke-19. Model
robotik pendidikan dengan metode hafalan dan tekanan sikap penurut
melahirkan gagasan bagi beberapa orang untuk mencoba memahami arti dan
makna pendidikan secara lebih luas. Di antara yang sedikit tokoh
pelopornya dan dijadikan “pendidikan alternatif” pada zamannya adalah
Rabindranath Tagore di India dengan Santiniketan-nya, Ki Hadjar
Dewantara dengan Taman Siswa-nya, Ivan Illich dengan Deschooling
Society-nya serta Paulo Freire dengan Conscientization (penyadaran)-nya.
Rabindranath
Tagore atau sering disebut dengan Gurudev lahir di Kalkuta, India pada 7
Mei 1961 dan meninggal pada 7 Agustus 1941 di kota yang sama. Ia lebih
dikenal sebagai sastrawan besar India dan merupakan orang Asia pertama
yang mendapat anugerah Nobel dalam bidang sastra pada tahun 1913. Namun,
di awal abad ke-20, selain menghasilkan karya-karya sastra, ia juga
mendirikan sekolah yang khas dengan metode yang mencerahkan dan
memberikan kemandirian pada murid-muridnya yang dikenal dengan nama
Santiniketan; yang dalam bahasa Arab bermakna darrussalam (tempat
tinggal yang damai).
Pemahaman mendalam yang terdapat dalam
karyanya, Agama Manusia (Tagore, 2003:189) tentang kesadaran esensi
illahiyah yang diyakininya telah mengental dalam kesadaran manusiawi,
yang secara tidak sadar bergerak dalam pikirann dan telah memaksanya
keluar dari mendalami sastra dan mengambil bagian dalam dunia kegiatan
praktis (pendidikan). Kebutuhan untuk memperoleh realisasi diri
spiritual dalam kehidupan manusia dengan melakukan layanan yang tidak
mementingkan diri. Pada waku itulah didirikan sebuah lembaga pendidikan
bagi anak-anak yang merupakan “kuil hidup” yang telah ia rintis.
Santiniketan merupakan sebuah lembaga pendidikan yang khas dengan budaya lokal dan sesuai kebutuhan masyarakat umum, berbeda dengan sekolah-sekolah yang didirikan oleh penjajah Inggris pada masa itu. Di Santiniketan, proses pembelajarannya dilakukan secara sederhana. Belajar dilakukan dengan duduk di atas rumput yang dinaungi pohon rindang. Tetapi pelajarannya sangat bermakna dan membekas pada diri murid-murid. Di sana diajarkan hal-hal atau keahlian yang sesuai dengan keperluan dan kondisi penduduk lokal setempat, dikembangkan berdasar kearifan lokal (local genius), bersahabat dengan alam, ketrampilan praktis, dan lain-lain, sehingga mereka yang lulus dari sekolah tersebut benar-benar bisa memanfaatkan ilmunya pada kehidupan sehari-hari. Dan inilah kiranya yang dalam istilah sekarang disebut dengan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning).
Tokoh kedua sebagai figur dan sekaligus sebagai tokoh pendidikan bagi rakyat Indonesia adalah Ki Hajar Dewantoro. Ki Hajar Dewantoro lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat di Yogyakarya pada 2 Mei 1889, merupakan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi dengan semboyan yang berbunyi “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Sampai saat ini semboyan tersebut masih dipakai dalam semboyan pendidikan di negeri ini. Hari kelahirannya kemudian diperingati dengan hari pendidikan Nasional. Gagasan tentang pendidikan yang memerdekakan lahir atas pengamatannya terhadap sistem pengajaran kolonial. Menurutnya, pendidikan dan pengajaran kolonial menjauhkan rakyat pribumi dari realitas sehari-hari dan itu berarti menghapus kesadaran akan kemerdekaan dari penjajahan kolonial.
Kritik atas sistem pendidikan kolonial ini diberi bentuk konkret dengan membangun perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Ketertarikan banyak orang di masa itu untuk menyekolahkan anaknya di Taman Siswa didorong oleh sistem pengajaran yang menekankan pada kemerdekaan anak didik. Berbeda dengan sistem pendidikan Barat yang juga dianut oleh pemerintah kolonial, Taman Siswa mendidik murid-muridnya supaya berperasaan, berpikiran, dan bekerja merdeka di dalam batas-batas tujuan untuk mencapai hidup tertib bersama. Sebaliknya, pada saat itu, karakter pengajaran kolonial menekankan pada perintah, hukuman, dan ketertiban (regering, tucht, orde).
Taman Siswa menjalankan asas kerakyatan yang membuat pendidikan dan pengajaran berguna bagi lapisan besar masyarakat pribumi. Penyakit hndividualisme yang memisahkan satu orang dengan orang lain digantikan dengan nilai-nilai kekeluargaan (nasionalisme). Nilai-nilai kekeluargaan atau kolektif ini dikemukakan Ki Hajar Dewantara bukan untuk menghilangkan kemerdekaan personal. Sebaliknya, di dalam hidup merdeka seseorang harus ingat bahwa ia hidup bersama orang lain yang juga berhak menuntut kemerdekaan diri. Oleh karena itu, pengajaran nilai kolektif dimaksudkan untuk memberi kesadaran tentang kehidupan bersama dalam bingkai persatuan masyarakat.
Tiap-tiap Orang djadi Guru, tiap-tiap Rumah djadi Perguruan! Demikian bunyi semboyan Ki Hadjar Dewantara. Semboyan ini, menganjurkan suatu gerakan mobilisasi untuk belajar bagi seluruh rakyat pada masa itu. Mobilisasi intelektual yang dimaksud di sini adalah mengerahkan seluruh sumber daya manusia yang ada untuk memberi pengajaran kepada anak-anak pribumi. Anjuran ini merupakan cita-cita pendiri perguruan Taman Siswa untuk memajukan pendidikan rakyat.
Ivan Illich melalui Deschooling Society, yang dialihbahasakan dengan judul Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah (Ivan Illich: 2000) mengungkapkan bahwa anggapan mengenai sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan adalah bias dari kehidupan kapitalis yang telah merasuk dalam kesadaran masyarakat. Menurut Illich, sekolah adalah fenomena modern yang lahir seiring dengan perkembangan masyarakat industri kapitalis. Konspirasi terselubung antara pendidikan dan kapitalisme menurutnya juga tak lepas dari dukungan pemerintah (kekuasaan), sehingga daya hegemonik yang diciptakannya menjadi massif.
Struktur masyarakat industri menurut arkeolog gagasan [Illich] yang lahir di Wina, Austria tahun 1926 ini telah menyeret kesadaran masyarakat kepada dependensi institusional dalam banyak hal. Masyarakat selalu dan hanya mengaitkan pendidikan dengan sekolah, pelayanan kesehatan dengan rumah sakit, dan seterusnya. Ketergantungan masyarakat terhadap institusi sekolah untuk memperoleh pendidikan menurutnya merupakan suatu bentuk kelembagaan nilai yang mau tidak mau pada akhirnya menimbulkan polusi fisik, polarisasi sosial, dan ketidakberdayaan psikologis. Definisi dan label-label sosial diciptakan dalam kerangka hubungan dengan lembaga sekolah. Baginya sekolah tradisional lebih jauh mengebiri kecerdasan dan menjerat kemanusiaan serta hakikat diri dalam perangkap mekanik, sehingga tak ada pilihan lain kecuali membangun masyarakat tanpa sekolah. Sekolah (formal), dalam pandangan Illich, tak ubahnya pabrik yang mencetak anak didik dalam paket-paket yang sudah pasti. Anak-anak bersekolah untuk disodori apa yang mesti dipelajari dan apa yang tidak boleh dipelajari. Mereka diiming-imingi bahwa dengan semua itu, impian-impian hidup akan tergapai. Imajinasi mereka “disekolahkan” untuk menerima jasa pencangkokan nilai-nilai.
Gagasan radikal yang digulirkan oleh Ivan Illich mendapat wujudnya dalam model pendidikan yang dikembangkan Paulo Freire. Titik tolak gagasan Freire adalah kenyataan sosial di Brasil tempat kelahirannya, dimana penindasan bercokol dengan mudah karena ketidaktahuan dan proses pembodohan oleh penguasa (Paulo Freire, Politik Pendidikan: 2001). Bagi Freire, pendidikan tak dapat dipisahkan dari penyadaran (conscientization), yang akhirnya bermuara pada pembebasan. Ia mengkritik metode pemberantasan buta huruf pemerintah Brazil yang hanya memperkenalkan abjad kepada para peserta dan akhirnya mempersiapkan orang untuk menjadi pelayan kepentingan penguasa. Baginya, pengenalan abjad terkait dengan pembebasan. Karena itu program pemberantasan buta huruf yang ia ciptakan sekaligus bermaksud membangkitkan kesadaran rakyat. Ia mendobrak sistem pendidikan Brasil yang berhenti pada pengetahuan, dengan menyerukan bahwa pendidikan adalah proses belajar untuk bergerak dan bertindak.
Arkeolog gagasan kelahiran Brazil pada 19 September 1921 dan meninggal pada 2 Mei 1997 ini mengungkapkan bahwa proses penyadaran (consientization) dan pembudayaan (culturation) berjalan terus-menerus demi mewujudkan sebuah peradaban dan tatanan kehidupan kemanusiaan yang lebih adil. Pendidikan akan menjadi diskursus tandingan (counter discourse) terhadap diskursus yang menghegemoni dan menindas, agar arus perubahan selalu terjaga dan terjadi dalam segala aspek kehidupan manusia.
Pendidikan yang dibutuhkan oleh lapisan masyarakat menurutnya adalah pendidikan yang membebaskan manusia untuk selalu sadar akan dirinya dan tidak teralienasi dari masyarakat dan dunianya. Sebuah proses pendidikan yang tidak tercerabut dari realitas sosial, bukan pendidikan yang malah menjauhkan manusia atau peserta didik dari kenyataan hidup yang ada. Paradigma pendidikan yang mengarahkan manusia untuk senantiasa menyadari bahwa dirinya sedang mengalami transformasi terus-menerus (learning to be) dan untuk selalu “menjadi sesuatu” (becoming to), sangat signifikan keberadaannya.
Dari beberapa latar belakang dan kondisi sosial yang melingkupi para tokoh pendidikan di atas, dapat diambil beberapa kesamaan tipologi dalam merekonstruksi konsep pendidikan yang ditawarkan dan dijadikan sebagai alternatif. Setidaknya ada lima kesamaan tipologi mendasar: pertama, pendidikan yang dilakukan merupakan pendidikan untuk meng-counter kaum dominan baik oleh kolonial maupun penguasa pada masanya. Kedua, pendidikan yang dilaksanakan bertujuan untuk memahami realitas sosial. Ketiga, adanya pembebasan dan penghargaan yang luas kepada peserta didik dalam mengaktualisasikan diri dan kemampuannya. Keempat, berbagai model pendidikan, entah yang kemudian menamakan ‘pendidikan alternatif, ‘sekolah bebas’, atau bahkan de-sekolah-isasi, tersebar sebagai sentra pendidikan yang dibangun atas dasar kesederhanaan dan keterbatasan kemampuan, terutama dari segi finansial bisa dibaca sebagai pesan yang mengatakan bahwa transformasi pengetahuan dan sosialisasi tidak hanya menjadi monopoli sekolah dengan segala atributnya. Belajar bisa dilakukan dimana saja, kapan saja dan diselenggarakan oleh siapa saja. Kelima, formalisme kelembagaan pendidikan bagi para arkeolog gagasan menjadi relatif dalam pemaknaan, namun tetap menuju pada pemerdekaan dalam memperoleh pengetahuan dan pengalaman sosial.
Diakui atau tidak, kita semua hidup dalam dunia yang seluruh atau sebagian besar logikanya mengacu pada satu hal, yakni motif keuntungan ekonomi. Akibatnya, seluruh proses hidup, termasuk pendidikan, diarahkan pada motif tersebut. Dalam penghayatan dan kesadaran tentang dirinya dan dengan diri sendiri pun, manusia terjerembab pada orientasi pasar. Dalam konteks ini manusia mengalami dan menghayati dirinya sebagai benda yang dipekerjakan di pasar.
Nilai gunanya sebagai manusia ditentukan oleh sejauhmana kebutuhan pasar terhadapnya. Manusia belum atau bahkan tidak menghayati dirinya sebagai agen aktif yang mengemban kekuatan manusiawi. Makna hidup diekspresikan dengan menjual dirinya secara berhasil di pasar. Pemahamannya akan diri sendiri tidak keluar dari aktivitas sebagai makhluk yang mencinta dan berpikir, tetapi semata-mata dari peran sosio-ekonominya. Eksistensi dalam kehidupan ini dihayati sebagai upaya untuk menginvestasikannya secara baik agar dapat mendatangkan keuntungan ekonomis bagi dirinya.
Berdasar realitas dan perputaran roda peradaban di atas, meniscayakan kita untuk selalu menemukan formulasi yang tepat dalam menjawab dan menyikapi tantangan peradaban yang mengemuka di hadapan kita. Dan pendidikan adalah salah satu, bahkan satu-satunya aktor yang harus berperan aktif dalam upaya formulasi ini, karena peradaban manusia akan selalu dipengaruhi oleh mainstream yang berkembang di dalamnya. Untuk itulah, pendidikan yang tidak hanya memprioritaskan satu aspek hidup, sangat diperlukan. Dengan kata lain, pendidikan harus lebih memperhatikan pendidikan dimensi-dimensi lain dalam diri manusia.
Pendidikan dimensi-dimensi lain di dalam diri manusia tersebut antara lain kemampuan yang terkait dengan rasa kemanusiaan dan seni, yang notabene sangatlah penting bagi penciptaan kehidupan bersama yang harmonis. Kedua hal tersebut akan bermuara pada kemampuan praktis untuk berpikir kritis, kemampuan untuk mentransendensi kesetiaan sebagai warga lokal, serta kemampuan untuk melihat masalah tidak sebagai anggota dari satu kelompok kecil saja, tetapi sebagai bagian “dari seluruh dunia”. Dan, mungkin ini adalah yang terpenting, kemampuan untuk merasa empati dan simpati melihat penderitaan orang lain, dan kemudian terdorong berbuat sesuatu untuk mengubahnya.
Semua kemampuan tersebut dapat disebut sebagai “imajinasi naratif” (narrative imagination), yang membuat kita dapat mengerti dengan baik keadaan orang lain, serta mengerti sungguh-sungguh apa yang menjadi gejolak emosi serta keinginan mereka. Proses pengembangan simpati merupakan tugas utama pendidikan pribumi. Konsep pendidikan imajinasi naratif ini juga merupakan inti dari teori pendidikan modern yang sangat menekankan pentingnya pendidikan pemanusiaan manusia dan seni (moral).
Akhirnya, tanpa bermaksud memutlakkan, karena menyadari perbedaan sejarah, budaya dan konteks sosio-antropologis archeology pendidikan dalam meletakkan gerak pembaharu pendidikan pada pandangan humanis (pribumi), langsung atau tidak, pandangan gerakan pembaruan pendidikan saat ini seyogyanya kembali mengacu pada gagasan para pemikir pedagogi-revolusioner seperti Rabindranath Tagore, Ivan fliich, Paulo Freire termasuk Ki Hadjar Dewantara. Sumbangan historis konsep dan gagasan mereka akan melengkapi pemahaman tentang pemaknaan ulang konsep pendidikan di tanah air.
Konsep Problem Possing Education atau pendidikan hadap-masalah, merupakan salah satu alternatif yang ditawarkan pemikir dan arkeolog bagi pendidikan kaum pribumi dan marginal agar peserta didik mampu memahami realitas sosial yang senyatanya disamping motif-motif lain, terutama motif ekonomi. Dan kiranya inilah yang coba ditawarkan dalam sistem pembelajaran di negeri ini dengan mengangkat sebuah mainstream pembelajaran kontekstual yang terkanalisasi dalam sebuah sistem Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang masih perlu kesadaran dan kerjasama kolektif untuk mewujudkannya.[ ]