SEKOLAH; JARINGAN BUKAN SARINGAN
Kecaman-kecaman terhadap penyelenggaraan program-program studi di sekolah-sekolah tingkat dasar, tingkat menengah dan tingkat tinggi telah lama dikemukakan oleh berbagai kalangan pendidik, cendekiawan, pengajar-pengajar dari masing-masing jenjang pendidikan maupun dari anak didiknya sendiri. Kecaman-Kecaman itu pada umumnya berkisar pada identifikasi beberapa kesulitan dan hambatan dalam menyelenggarakan program-studi seperti misalnya fasilitas yang kurang memadai, metode-pengajaran dan sistem pendidikan yang perlu disempurnakan ataupun usaha-usaha untuk menyusun suatu kurikulum yang ideal. Kalangan pendidik, cendekiawan serta para sarjana biasanya berbeda pendapat mengenai segi-segi struktur dan proses pendidikan di sekolah-sekolah, tanpa menilai kembali asumsi-asumsi dasar mengenai manfaat orang bersekolah, Pendidikan disekolah dianggap sebagai suatu program kerja seseorang dalam usahanya untuk memperkaya dirinya mengenai bermacam-macam segi pengetahuan yang menjadi kegemarannya, sekaligus tempat ia mempersiapkan dirinya menghadapi tantangan-tantangan hidup.
Demikianlah pada umumnya kalangan pendidik sepakat akan perlunya sekolah sebagai tempat untuk mempersiapkan orang-orang yang mahir berpikir kritis dan analistis, tetapi juga sanggup melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan keahlian-terapan. Disetiap kurikulum pendidikan tingkat tinggi di Indonesia, asumsi-asumsi ini telah menjelma dalam surat-surat keputusan mengenai kurikulum minimal yang diperlukan bagi setiap calon dokter, insinyur, ahli hukum dan lain sebagainya.
Ivan Illich, seorang cendekiawan Amerika kelahiran Austria, bertahun-tahun lamanya mempelajari dengan seksama perkembangan sekolah-sekolah dan program-program studi di negara-negara Amerika Latin dan Afrika. Pada awal tahun 1960-an ia masih termasuk orang yang percaya dan yakin benar akan manfaatnya orang bersekolah seperti yang berulang-kali diajarkan filsafat liberal tentang “pembebasan manusia” melalui kesadaran dan kegairahan akan ilmu dan pengetahuan. Menjelang tahun 1970-an, Illich telah berubah sikap dan sekarang makin yakin bahwa sekolah — seperti yang sekarang ini diselenggarakan di banyak negara-negara yang maju maupun yang sedang berkembang — sebaiknya dibubarkan saja. Sebab, katanya, pendidikan yang diselenggarakan melalui sekolah-sekolah dewasa ini sudah menyimpang dari tujuan pendidikan yang sebenarnya. Sekolah sekarang ini menurutnya tidak lagi membedakan antara pengajaran dengan pelajaran, antara pengejaran nilai ujian dengan pendidikan, antara keterampilan melaksanakan suatu pekerjaan tertentu dengan usaha menciptakan pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasan baru. Tegasnya, Illich berkesimpulan bahwa orang yang masuk sekolah menyerahkan dirinya pada suatu program yang diarahkan pada pemujaan nilai jasa dalam pasaran kerja masyarakat, bukan lagi untuk mencetuskan serta menyebarluaskan cita pikiran baru yang diharapkan dapat menolong usaha mempertinggi martabat manusia.
Bahaya akan pemujaan yang berlebih-lebihan terhadap nilai jasa pasaran kerja — istimewa dalam masyarakat massa dan masyarakat dimana taraf perkembangan teknologi dan sistem perekonomiannya sudah amat berkembang — bukanlah suatu peringatan baru dalam kepustakaan pendidikan. Semenjak awal tahun 1950-an, orang ramai mengajukan peringatan-peringatan akan timbulnya rasa keterasingan yang mudah dialami manusia yang hidup dalam masyarakat yang serba kompleks. Illich mengulangi tema-tema bahaya ini dengan memusatkan perhatiannya pada sekolah sebagai salah satu lembaga sosial yang amat berpengaruh dalam proses pembentukan sikap serta nilai-nilai para warga masyarakat. Menurut dia, program-program studi dikebanyakan sekolah-sekolah Amerika Serikat dan Amerika Latin condong untuk menjurus pada pembunuhan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Sekolah dipandang oleh Illich sekaligus sebagai lembaga sosial yang otoriter, represif, sepihak, terlalu mahal, hanya menguntungkan si kaya atas pengorbanan si miskin, dan (yang paling dirasakan sebagai kegagalan pokok) tempat memompa pengetahuan-pengetahuan yang sama sekali tidak berguna. Dengan kata lain, Illich berkesimpulan sekolah adalah tempat diteruskannya mitos-mitos dan kontradiksi-kontradiksi sosial serta wadah untuk melembagakan semua mitos dan kontradiksi sosial yang ada itu. Sekolah -dasar, menengah dan tinggi – menjadi tempat mencetak lebih banyak lagi penindas nilai-nilai dasar kemanusiaan yang seharusnya justeru dikembangkan dan disebarkan kepada warga masyarakat dari lembaga pendidikan yang namanya sekolah dasar, sekolah menengah dan perguruan tinggi.
Jalan keluar yang disarankan Illich adalah perlu dikembangkannya suatu pendidikan yang sifatnya unik dan pribadi, yang harus dipisahkan dari kerangka sistem sekolah yang disusun dan ditentukan oleh masyarakat dan negara. Pendidikan yang baik, menurut Illich, ialah pendidikan yang diselenggarakan oleh orang-orang yang kira-kira sebaya. Orang harus dibebaskan dari belenggu ijazahisme, dari keketatan dan kesumpekan kurikulum, serta dari seluruh proses kerja produksi massa yang diselenggarakan oleh badan-badan swasta maupun lembaga-lembaga pemerintah. Akhirnya, si anak didik itu harus pula dibebaskan dari feodalisme struktur sekolah pada umumnya. Orang seyogianya bebas untuk memilih dan menuntut pengetahuan dari siapapun yang ia sukai, agar supaya ia tidak saja akan gemar akan pengetahuan yang diperolehnya akan tetapi juga gairah akan hubungan timbal-balik yang terjadi antara dia sebagai anak-didik dengan gurunya sebagai pendidik. Sebab hanya atas dasar rasa hormat dan rasa kagum pada si pendidik, tujuan pendidikan yang sebenarnya — yaitu mengagungkan nilai-nilai kemanusiaan — dapat dicapai. Tegasnya, sebagai alternatif dari sistem saringan yang sekarang membuat orang harus disalurkan melalui bermacam tahap sekolah, Illich mengajukan saran dibukanya jaringan-jaringan ilmu dan pengetahuan, yang dapat dimanfaatkan oleh setiap warga masyarakat yang membutuhkannya.
Apakah yang menjadi latar belakang dari pemikiran-pemikiran yang kontroversil seperti ini? Apakah pandangan-pandangannya sekedar cermin dari kecemasan dan kegusaran seorang cendekiawan yang muak akan ketidakadilan dan kesengsaraan yang disaksikannya di negara-negara Amerika Latin, dan akhirnya mencari jalan keluar “diluar sistim”, yang cepat, radikal dan menyeluruh? Sampai seberapa jauh pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh Illich beserta rekan-rekannya dari CIDOC (Center for Intercultural Documentation) di Cuernavaca, Mesxico, dapat memberi pelajaran buat dikalangan pendidikan di negara-negara yang sedang berkembang?
Essei-essei yang dihimpun dalam buku ini sebagian besar dipikirkan dan ditulis pada masa krisis sosial dan politik terjadi di Amerika Serikat serta kegagalan-kegagalan beberapa program perencanaan pendidikan yang dibiayai oleh badan-badan Amerika Serikat di negara-negara Amerika Latin. Sejauh sistem sekolah dan sistem pendidikan Amerika Serikat berpengaruh pada pola-pola sistem pendidikan negara-negara Amerika Latin (istimewa pendidikan tenaga-tenaga administrasi pembangunan) maka apa yang diperingatkan oleh Illich agaknya ditujukan pula kepada kalangan pendidik dibanyak negara-negara yang sedang berkembang. Sebab tidak sedikit negara didunia ini yang memakai sistem Amerika Serikat sebagai model yang perlu ditiru. Oleh karena orientasi semacam ini melibat masalah-masalah nilai, ada baiknya dikemukakan lebih dahulu apa yang menjadi ideologi fungsi sekolah di Amerika Serikat itu. Kemudian baik pula diketahui apa yang oleh Illich beserta rekan-rekannya dianggap sebagai kenyataan-kenyataan yang berlaku.
Salah satu ideologi yang dikemukakan sebagai dasar mengapa sekolah harus diadakan disetiap masyarakat modern ialah kepercayaan bahwa sekolah membuka kesempatan yang merata bagi setiap orang yang mau belajar. Menurut pemikiran ini, siapa saja – asal dia mau — bisa berhasil dalam cita-citanya untuk menjadi seorang cendekiawan yang terkemuka ataupun sebagai teknokrat, kalau saja dari sekolah ia sudah memperoleh latihan-latihan kerja serta pelajaran-pelajaran yang dipilihnya. Dalam kenataan, kata Illich, setiap kesempatan yang dipakai oleh si-A pada hakekatnya harus merugikan si-B. Kemajuan yang diperoleh si-A disekolah (misalnya dengan mendapat nilai-ujian yang tinggi) dengan sendirinya membatasi kesempatan yang sama bagi si-B. Adanya sistem nilai-ujian memberikan semacam “hierarki” prestasi akademis. Atas dasar adanya hierarki itu, maka diukurlah siapa-siapa yang memenuhi persyaratan-persyaratan ilmiah, siapa-siapa yang tidak.
Ideologi kedua yang kerapkali membelenggu pemikiran kaum pendidik dibanyak negara ialah anggapan bahwa melalui suatu perombakan kurikulum, setiap anak-didik yang diberi pelajaran-pelajaran pilihan akan mendapat kebebasan memilih program-studi yang menurutnya akan bermanfaat. Dalam kenyataannya, menurut Illich, si-anak didik itu semata-mata dibuat seolah-olah dia memiliki kebebasan memilih pelajaran atau mata kuliah yang ia sukai. Padahal seluruh program-studi pilihan pun sudah banyak diarahkan untuk memenuhi permintaan-permintaan yang kian meningkat akan tenaga-tenaga teknisi dan tenaga-tenaga professional yang diperlukan oleh birokrasi pemerintahan dan perusahaan-perusahaan swasta yang kuat dan besar. Melalui suatu ritual demokrasi, orang dibuat percaya seolah-olah ia benar-benar turut serta dalam proses pengambilan keputusan, serta mitos-mitos lainnya mengenai partisipasi masyarakat yang senantiasa didengung-dengungkan dalam buku-buku civics dan matakuliah-matakuliah mengenai ideologi negara dan sistem pemerintahan nasional.
Konsep kemajuan merupakan dasar ketiga dari ideologi perlunya sekolah dalam masyarakat modern. Masyarakat dibuat percaya bahwa proyek-proyek penelitian akan menghasilkan gagasan-gagasan baru serta penemuan-penemuan orisinil yang membantu usaha pembangunan nasional. Menurut jalan pemikiran ini, makin banyak diselenggarakan penelitian, makin besar kemungkinan masalah-masalah yang perlu dipecahkan dapat diatasi. Sebab cara-cara baru pun akan dapat dikembangkan untuk kepentingan umum. “Pemecahan masalah” menjadi slogan pokok, sesuai dengan perhitungan yang didasarkan pada adanya sasaran yang harus dicapai, pemilihan teknik yang jitu serta pertimbangan untung rugi setiap kegiatan penelitian. Illich membantah keras manfaat penelitian yang sering dilakukan oleh sekolah atas nama “kemajuan ilmu pengetahuan” ataupun atas nama alasan-alasan lain. Ia menyangsikan apakah hasil-hasil penelitian yang dilakukan dalam berbagai bidang pengetahuan di perguruan-perguruan tinggi, misalnya, sungguh-sungguh menghasilkan hal-hal yang baru dan yang patut dibanggakan. Ia lebih condong untuk secara terus terang mengatakan bahwa kegiatan penelitian pun sudah diritualkan, dibuat seolah-olah penting dan perlu, padahal sama sekali tidak ada sumbangannya baik bagi perkembangan ilmu maupun bagi apa yang secara sloganistis disebut sebagai pengabdian masyarakat. Seperti halnya embel-embel suatu upacara, segala sesuatunya kelihatan bagus dan menarik, kemudian diberi merek “baru”. Padahal kalau benar-benar ditelaah, yang namanya baru itu sebenarnya yang lama dan yang itu-itu juga.
Ideologi efisiensi menjadi sasaran kecaman Illich yang terakhir mengenai manfaat sekolah. Apabila efisiensi dipakai sebagai patokan untuk meneruskan hak-hidupnya sekolah, maka sekolah itu sudah berhenti menjalankan fungsinya yang hakiki; menaikkan martabat kehidupan manusia. Bila sekolah diarahkan pada pemecahan masalah, maka program studi yang diselenggarakan di dalamnya hanya akan mencerminkan pengajaran pengetahuan-pengetahuan yang terpaksa diberikan. Banyak guru dan dosen terpaksa mengerjakan tugas masing-masing semata-mata karena tidak ada pekerjaan atau bidang lain yang sanggup dan sungguh-sungguh ingin dikerjakannya. Oleh karena orang yang tidak bekerja akan merasa dirinya kurang bermanfaat, maka iapun akan berusaha sedemikian rupa sehingga ia nampak sibuk bekerja. Takut dikenakan cap sebagai orang yang pemalas, ia masuk ritual kegiatan yang sebenarnya tidak perlu ia lakukan.
Kalau kita uji semua pemikiran-pemikiran dasar yang menjiwai hak hidup sekolah seperti di atas, terhadap kenyataan kehidupan masyarakat sekolah Indonesia dewasa ini, nyatalah bahwa peringatan Illich itu bukannya tidak bermanfaat bagi kita. Bagaimanapun juga, dalam setiap kegiatan pembinaan kurikulum di negara kita sekarang ini, banyak sekali kegiatan diarahkan dalam bidang keahlian-terapan untuk memenuhi apa yang lazim dikenal sebagai “tuntutan-tuntutan masyarakat yang sedang mengalami perubahan yang amat cepat”. Ideologi teknokrasi yang kini memikat kaum muda dan calon sarjana-sarjana di universitas menjurus pada penggunaan cara kerja dan sasaran-sasaran organisasi yang abstrak. Jarang sekali asumsi-asumsi dasar dari rencana program atau proyek itu ditanya kembali dalam hubungannya dengan segi-segi perbaikan mutu kehidupan manusia. Tuntutan relevansi menyisihkan akan perlu dipertimbangkannya pendidikan yang benar-benar memberi makna hidup bagi si calon murid dan si calon mahasiswa, yang menjadi objek aneka ragam program studi yang saat ini diselenggarakan oleh perguruan-perguruan tinggi negeri maupun swasta.
Bagi Illich, pendidikan yang memberi kepada si anak-didik jalan baginya untuk mencari makna hidup itulah pendidikan yang sebaik-baiknya dapat diberikan kepada seorang manusia. Sumber-sumber pendidikan dalam arti yang ini harus disusun dan terkumpul sedemikian rupa sehingga si anak-didik dapat merumuskan sendiri apa yang ia kehendaki dari hidupnya, dari pengalaman pendidikan yang ia cari-cari itu. Kecuali sumber-sumber yang dapat diperoleh dari perpustakaan, laboratorium dan museum-museum. Illich menyarankan disediakannya bahan-bahan pengetahuan ini diseluruh pelosok negara. Si petani, si pekerja kasar maupun si pekerja menengah dapat sewaktu-waktu menggunakannya bagi pengembangan pengetahuan pribadinja. Pengetahuan serta keahlian yang dimiliki setiap anggota masyarakat hendaknya dicatat pada suatu daftar yang memuat semua jenis bidang keterampilan yang tersedia, supaya orang lain dapat menghubungi masing-masing orang yang dianggapnya dapat memberikan pelajaran baginya. Jaringan hubungan antara orang-orang yang sebaya dan yang pengetahuannya kira-kira setaraf dimaksudkan agar setiap orang dapat mencari kawan karib yang membantu proses memperkaya masing-masing. Illich juga menganjurkan agar orang-orang yang bergerak dalam dunia profesi — ahli hukum, wartawan-wartawan kawakan, dokter-dokter spesialis — memanfaatkan diri untuk mengisi pendidikan beberapa bidang pengkhususan yang tidak dapat diselenggarakan oleh program studi yang resmi di sekolah-sekolah.
Konsepsi pendidikan yang serba luas dan serta baru seperti ini dengan sendirinya tidak lagi memisahkan bidang-bidang ilmu pengetahuan sebagaimana lazimnya kita kenal. Ini juga berarti bahwa akan amatlah sulit untuk membedakan pengetahuan mana yang namanya “ilmiah-akademis” dan pengetahuan mana yang bukan ilmiah serta tidak akademis. Para perencana pendidikan, birokrat-birokrat yang bertugas menjalurkan dana-dana dan fasilitas yang berhubungan dengan pembinaan kurikulum, serta para ahli yang gandrung akan berbagai macam sistem kerja sudah pasti akan memberi vonis yang tidak menguntungkan pemikiran-pemikiran yang diadjukan Illich.
Barang tentu tidak semua gagasan Illich dalam bukunya ini akan mempunjai implikasi yang sama bagi tiap negara yang sedang berkembang. Salah satu kelemahannya ialah misalnya bahwa Illich tidak memberikan ukuran bilamana dan pada taraf perkembangan ekonomi teknologi yang bagaimana sistem sekolah mulai mematikan nilai-nilai dasar kemanusiaan yang senantiasa dipentingkan olehnya. Tidak juga jelas apakah dalam menganalisa sekolah-sekolah diberbagai negara yang ia ketahui itu Illich sudah mempertimbangkan aneka ragam sistem pendidikan, baik karena perbedaan latarbelakang budaya maupun karena perbedaan taraf perkembangan perekonomian serta kekuatan lembaga-lembaga sosial. Sebab jika menggunakan perbandingan beberapa negara hanya atas dasar variable penyelenggaraan pendidikan sebagai suatu proses sekolah, amatlah sulit untuk diyakinkan bahwa satu variabel ini bisa menjelaskan semua.
Boleh jadi Illich terlalu sering pula mengemukakan pandangan-pandangan yang sifatnya mirip-mirip polemik ideologi (ia djelas bersimpati pada gerakan-gerakan “New Left” yang banyak mempengaruhi kegiatan beberapa kampus terkemuka di Amerika Serikat, umpamanya), sedemikian rupa sehingga sering kehilangan perspektif pendidikan yang ilmiah. Tetapi barangkali inilah justeru maksud Illich yang sebenarnya; untuk menunjukkan bahwa setiap proses pendidikan sekolah dimanapun, tidak bisa lepas dari struktur kekuasaan serta pola-pola kepentingan dari unsur-unsur penguasa yang mengambil keputusan tertinggi dalam berbagai bidang. Termasuk bidang pendidikan dan penyelenggaraan program studi melalui sekolah-sekolah.
Jasa Illich adalah mengingatkan kembali kepada kita semua akan sulitnya perencanaan manusia serta bahaya-bahaya yang akan timbul kalau seorang birokrat atau sarjana terpukau pada suatu rencana atau design yang dianggapnya sudah rapih, lengkap dan sempurna. Ada baiknya kalau para sarjana yang bekerja dibadan-badan panasehat Departemen Pendidikan Nasional mulai membalik-balik halaman buku ini. Suatu skeptisisme yang sehat sekali-sekali perlu ditanamkan dalam pemikiran-pemikiran mereka yang serba “goal-oriented“.
No comments:
Post a Comment